Pagi itu, setelah melewati malam penuh ketakutan di rumah tua neneknya, Huntara memutuskan untuk mencari pengalaman yang berbeda. Ia mendengar cerita dari kerabat tentang Hutan Ndonoloyo, sebuah tempat yang terkenal dengan kisah mistis dan aura angkernya.
“Pak De, saya mau pergi ke Hutan Ndonoloyo. Katanya, di sana ada makam Ki Ageng Ndonoloyo yang sering didatangi orang untuk mencari berkah,” ujar Huntara sembari menyesap secangkir kopi yang disajikan Wantie.
Pak De Subiantoro, yang terkenal pemberani, langsung tertarik. “Serius? Wah, seru juga tuh kalau kita ke sana. Dekat nggak dari sini?”
“Katanya cuma sekitar 2 kilometer dari sini. Kita bisa naik motor, Pak De,” balas Huntara.
Tak lama kemudian, mereka meminjam motor milik Wantie dan bersiap berangkat. Jalan menuju Hutan Ndonoloyo kecil dan berbatu, dikelilingi sawah dan kebun warga. Udara pagi terasa sejuk, namun bayangan cerita mistis tentang hutan itu membuat perjalanan terasa sedikit menegangkan.
“Katanya, pohon jati di sana sudah berumur ratusan tahun. Ada yang bilang hutan ini dijaga makhluk gaib,” ujar Huntara sambil mengendarai motor pelan.
Pak De Subiantoro hanya tertawa. “Ah, cerita orang kampung itu kadang suka dilebih-lebihkan. Tapi ya, kita lihat saja nanti.”
Sesampainya di gerbang hutan, mereka memarkir motor di bawah pohon jati besar. Suasana hutan terasa berbeda. Pohon-pohon jati yang tinggi menjulang membuat cahaya matahari sulit menembus ke dalam, menciptakan bayangan gelap yang memeluk setiap sudut hutan.
“Aura di sini memang beda, ya,” gumam Huntara.
Pak De Subiantoro mengangguk, namun tetap terlihat santai. “Kalau begini, jadi makin penasaran sama makam Ki Ageng Ndonoloyo itu.”
Mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak yang tertutup daun-daun kering. Di sepanjang perjalanan, mereka mendengar suara burung hantu dan derit pohon yang tertiup angin. Huntara beberapa kali menoleh ke belakang, merasa seperti ada yang mengawasi.
“Pak De, kamu nggak ngerasa ada yang aneh?” bisik Huntara.
“Aneh gimana? Ini cuma hutan, Huntara. Jangan terlalu banyak pikiran,” jawab Pak De Subiantoro sambil melangkah santai.
Setelah berjalan sekitar 15 menit, mereka tiba di sebuah area terbuka yang dikelilingi pohon-pohon jati tua. Di tengahnya terdapat makam yang sederhana, namun terawat dengan baik. Sebuah nisan bertuliskan “Ki Ageng Ndonoloyo” berdiri di antara lilitan akar pohon besar.
“Ini dia makamnya,” ujar Huntara dengan nada hormat.
Mereka mendekat dan duduk di depan makam. Ada beberapa dupa yang sudah terbakar habis, menandakan tempat itu sering dikunjungi orang.
“Siapa sebenarnya Ki Ageng Ndonoloyo, Pak De?” tanya Huntara.
“Kalau dari cerita yang saya baca di google, Ki Ageng Ndonoloyo itu seorang tokoh penting di masa lalu. Konon, dia adalah seorang pejuang sekaligus penjaga hutan ini. Banyak orang datang ke sini untuk minta berkah atau sekadar berziarah,” jelas Pak De Subiantoro.
Saat mereka tengah berbincang, tiba-tiba angin berhembus kencang, membuat daun-daun kering beterbangan. Suara seperti langkah kaki terdengar dari balik pohon-pohon, namun tidak ada siapa-siapa di sana.
“Pak De, dengar nggak itu?” bisik Huntara dengan wajah tegang.
“Iya, dengar. Tapi tenang saja. Jangan panik,” jawab Pak De Subiantoro, meskipun kali ini suaranya terdengar lebih serius.
Huntara merasa jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba menenangkan diri dengan membaca doa dalam hati. Namun, suasana semakin mencekam. Hembusan angin kini disertai dengan suara seperti seseorang yang tertawa pelan.
“Kita balik saja, Pak De. Saya nggak nyaman di sini,” pinta Huntara.
Pak De Subiantoro mengangguk. “Baiklah, tapi pelan-pelan. Jangan buru-buru, biar nggak panik.”
Mereka mulai berjalan kembali ke arah motor, namun langkah mereka terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menahan, atau mungkin hanya perasaan mereka saja. Suara-suara aneh terus mengikuti mereka, hingga akhirnya mereka berhasil keluar dari hutan.
Begitu sampai di motor, Huntara langsung menyalakan mesin dan melaju cepat meninggalkan hutan itu. Sesampainya di rumah nenek, mereka menceritakan pengalaman mereka kepada Wantie dan keluarga besar.
“Ndonoloyo memang terkenal angker, Mas,” kata Wantie. “Banyak orang bilang kalau di sana itu ada penjaga gaib yang tidak suka kalau ada yang datang tanpa niat baik.”
Huntara hanya terdiam, masih mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Sementara itu, Pak De Subiantoro terlihat lebih santai, meskipun jelas ia juga merasakan sesuatu yang aneh di hutan itu.
Malam itu, mereka berdua merenung di kamar sisi kanan ruang utama rumah nenek.
“Pak De, kenapa kita tadi diganggu seperti itu?” Huntara.
“Mungkin karena kita masuk tanpa izin. Tempat-tempat seperti itu biasanya dijaga oleh makhluk yang kita tidak bisa lihat,” jawab Pak De Subiantoro.
“Jadi, kita salah?”
“Bukan salah, tapi mungkin kita kurang sopan. Lain kali, kalau mau masuk ke tempat seperti itu, berdoa dulu dan sampaikan niat baik kita,” jelas Pak De Subiantoro.
Huntara mengangguk. Ia merasa pengalaman itu menjadi pelajaran berharga baginya. Hutan Ndonoloyo bukan sekadar tempat mistis, tetapi juga sebuah pengingat bahwa alam memiliki aturannya sendiri yang harus dihormati. Meski menegangkan, perjalanan itu membuka mata mereka tentang hubungan manusia dengan alam dan sejarah. Bagi Huntara, Hutan Ndonoloyo kini bukan hanya tempat yang angker, tetapi juga simbol dari warisan leluhur yang harus dijaga
Ketika mendatangi tempat² mistis harus sopan dan menjaga etika
Seharusnya memang jika kita berkunjung ke tempat asing yang bukan wilayah kita ,alangkah baik nya permisi terlebih dahulu karena ada mahluk penghuni ditempat itu yang tidak bisa kita lihat & juga jika berpergian ke tempat manapun pikiran hati niat harus bersih tidak boleh berpikiran buruk /kotor, karna mahluk gaib dapat merasakan aura itu ….
kesan yg dapat di ambil dri cerpen di atas adalah kita sebagai manusia juga harus sopan, tidk hanya pad manusia saja tetapi makhluk² lain
Pohhh apikkkkkk