Aku masih ingat sore itu. Langit mendung, tapi hawa di dapur terasa lebih hangat. Asap mengepul dari penggorengan, aroma bawang putih dan cabai merah memenuhi ruang sempit di rumah kami. Ibu berdiri di depan kompor dengan tatapan serius, sesekali memutar-mutar sendok kayu di wajan.
“Ini pasti enak, Bu,” kataku sambil menatap piring di meja. Sudah ada tempe goreng dan tumis kangkung.
Ibu menoleh dan tersenyum. Wajahnya yang lelah tetap memancarkan kehangatan. “Ini lauk terakhir untuk hari ini, Nak. Sederhana saja, tapi harus tetap enak.”
Aku menelan ludah. Sejak Ayah meninggal dua tahun lalu, hidup kami berubah drastis. Tak ada lagi suara tawa di meja makan, tak ada lagi makanan melimpah seperti dulu. Segalanya jadi serba pas-pasan. Ibu harus bekerja lebih keras untuk memastikan aku bisa makan dan tetap sekolah.
Di penggorengan, Ibu menggoreng ikan asin. Bunyi letupan minyak terdengar berirama, seperti lagu perjuangan kecil yang selalu ia nyanyikan tanpa suara.
“Nanti kamu makan banyak, ya,” katanya sambil membalik ikan asin dengan hati-hati.
“Enggak usah khawatir, Bu. Aku bisa makan di sekolah,” jawabku, meski aku tahu kantin sekolah hanya tempat untuk menatap makanan tanpa membeli.
Ibu tertawa kecil. “Kamu itu, ya. Jangan bohong sama Ibu. Makanlah sepuasmu di rumah. Jangan pikirkan Ibu.”
Malam itu, kami makan bersama di meja kecil di sudut dapur. Nasinya tidak banyak, hanya cukup untuk dua piring. Lauk terakhir yang Ibu masak benar-benar sederhana: ikan asin, tempe goreng, dan tumis kangkung. Namun, di meja itu, setiap suapan terasa istimewa.
“Kamu tahu, Nak,” kata Ibu sambil menatap piringku, “Hidup ini seperti lauk sederhana ini. Kadang asin, kadang hambar. Tapi kalau kamu menikmatinya dengan hati, semuanya akan terasa nikmat.”
Aku mengangguk, meski belum sepenuhnya mengerti apa maksudnya.
Saat aku menghabiskan nasi di piring, Ibu hanya menyantap sedikit ikan asin. Ia lebih banyak meminum air putih. “Ibu nggak lapar, kok,” katanya ketika aku menatapnya dengan khawatir.
Tapi aku tahu itu bohong. Ibu selalu berusaha menyembunyikan rasa laparnya, memberikan porsi lebih untukku.
Hari-hari berikutnya, Ibu semakin sering batuk. Kadang, di tengah malam, aku terbangun mendengar suara batuknya yang parau.
“Bu, besok kita ke dokter, ya?” aku memohon suatu pagi.
Ibu hanya tersenyum, mengusap rambutku dengan lembut. “Nggak usah, Nak. Ibu cuma kecapekan. Nanti juga sembuh.”
Namun, batuk itu tidak pernah sembuh. Sebulan berlalu, tubuh Ibu semakin kurus. Wajahnya yang dulu cerah kini terlihat pucat.
Suatu pagi, aku pulang lebih awal dari sekolah. Perutku keroncongan, berharap bisa menemukan sisa makanan di dapur. Tapi saat membuka panci, aku hanya menemukan nasi yang sudah mengering.
Aku duduk di lantai dapur, menahan air mata. Di sudut ruangan, aku melihat plastik kecil berisi beberapa potong ikan asin. Aku tahu itu sisa lauk terakhir yang Ibu masak beberapa hari lalu.
Dengan air mata yang menetes, aku memutuskan untuk menggoreng ikan asin itu. Tapi saat kompor menyala dan aroma ikan mulai tercium, Ibu muncul dari kamar.
“Kenapa kamu nggak bilang kalau lapar?” tanyanya dengan suara lemah.
Aku terdiam, tak sanggup menjawab.
Ibu menghampiriku, mengambil sendok kayu dari tanganku. “Biar Ibu saja yang masak.”
“Tapi, Bu, kan Ibu sakit,” aku memprotes.
Ibu menggeleng pelan. “Ibu selalu punya tenaga untuk anak Ibu.”
Hari itu menjadi hari terakhir aku melihat Ibu memasak. Dengan tubuh yang lemah, ia tetap berdiri di depan kompor, menggoreng ikan asin dengan penuh cinta. Setiap gerakannya seperti doa, setiap aroma yang keluar dari penggorengan seperti kenangan yang akan terus melekat di hati.
Kami makan bersama untuk terakhir kalinya di meja kecil itu. Ibu hampir tidak menyentuh makanannya, hanya menatapku dengan senyuman.
“Kalau Ibu nggak ada, kamu harus bisa masak sendiri, ya,” katanya tiba-tiba.
Aku menatapnya dengan bingung. “Kenapa Ibu ngomong kayak gitu?”
Ibu hanya tersenyum, mengusap pipiku dengan tangan yang mulai dingin. “Karena hidup itu tidak pernah berhenti, Nak. Kamu harus terus maju, meski tanpa Ibu.”S
Seminggu kemudian, Ibu pergi untuk selamanya. Aku menemukan surat kecil di bawah bantalnya, tulisan tangannya yang indah meski sedikit gemetar:
“Nak, maaf kalau Ibu tidak bisa memberimu banyak hal. Tapi percayalah, setiap nasi, setiap lauk, semuanya penuh dengan doa Ibu untukmu. Jadilah anak yang kuat dan bahagia. Ibu selalu mencintaimu, selamanya.”
Surat itu kusimpan di dompetku sampai hari ini. Setiap kali aku rindu Ibu, aku akan membaca surat itu, membayangkan wajahnya, dan mengingat aroma lauk terakhir yang ia masak.
Kini, aku sudah dewasa. Aku sering memasak ikan asin seperti yang Ibu buat dulu. Rasanya mungkin tidak pernah seistimewa masakan Ibu, tapi setiap suapannya selalu mengingatkan aku pada cinta yang sederhana namun luar biasa.
Lauk terakhir Ibu bukan hanya tentang makanan; itu adalah warisan cinta, pengorbanan, dan kenangan yang akan selalu hidup di hatiku.