Pagi itu, 14 Desember 2024, udara di Pasuruan terasa sejuk, seolah menyambut perjalanan yang sudah lama dinantikan oleh Abiya dan ayahnya, Pak Huntara. Liburan ke Jakarta, janji yang dibuat Pak Huntara sepulang dari Yogyakarta, akhirnya tiba.
Abiya, bocah dua belas tahun yang selalu ceria, sudah bangun lebih awal dari biasanya. Ia tak sabar memulai perjalanan panjang yang penuh harapan. “Papi, aku sudah siap! Ranselku juga sudah aku cek tiga kali!” serunya bersemangat.
Pak Huntara tersenyum melihat anaknya. “Bagus kalau begitu. Sekarang, bantu Papi periksa koper di bagasi, ya,” ujarnya sambil memeriksa barang-barang sekali lagi.
Di depan rumah, mobil Avanza yang akan membawa mereka sudah terparkir rapi. Sopir yang mereka sewa, Bang Satryo atau biasa dipanggil Bang Sat tampak duduk di balik kemudi, menunggu instruksi. Setelah memastikan semuanya lengkap, mereka berangkat tepat pukul enam pagi.
“Abiya, kamu duduk di depan ya, biar bisa lihat pemandangan. Papi di belakang saja,” kata Pak Huntara sambil menepuk bahu anaknya.
“Serius, Pi? Aku boleh duduk di depan? Asyik!” seru Abiya senang. Ia langsung melompat masuk ke mobil dan duduk di samping Bang Sat.
Perjalanan menuju Pelabuhan Bakauheni berlangsung lancar. Dari tempat duduknya, Abiya tak henti-hentinya memandangi pemandangan di luar jendela. Hamparan sawah hijau, gunung di kejauhan, dan truk-truk besar yang melintas membuatnya semakin bersemangat.
“Ayah, lihat gunung itu! Besar sekali, ya?” serunya sambil menunjuk ke arah gunung yang tampak samar di kejauhan.
Pak Huntara, yang duduk di belakang, hanya tersenyum. “Iya, Nak. Nikmati pemandangannya. Masih banyak hal yang akan kita lihat selama perjalanan ini.”
Setibanya di Pelabuhan Bakauheni, mereka segera mengurus tiket untuk kapal eksekutif. Mobil mereka masuk ke dalam kapal bersama kendaraan lainnya. Ini adalah pengalaman pertama Abiya menyeberangi lautan dengan kapal. Ia tak bisa menyembunyikan rasa antusiasnya.
“Papi, kapal ini besar sekali, ya? Kalau dilihat dari atas, lautnya seperti tidak ada ujungnya!” serunya sambil memandangi ombak.
“Betul, Abiya. Kalau kita beruntung, nanti bisa lihat lumba-lumba,” jawab Pak Huntara sambil tersenyum kecil.
Selama dua jam perjalanan di atas kapal, Abiya hampir tidak mau diam. Ia berjalan-jalan ke dek kapal, bertanya-tanya tentang cara kerja kapal, dan sesekali mengajak sopir berbincang. Pak Huntara, meskipun duduk di belakang, merasa senang melihat anaknya menikmati setiap momen perjalanan ini.
Setelah kapal merapat di Pelabuhan Merak, mereka melanjutkan perjalanan darat menuju Jakarta. Namun, perjalanan ini mulai terasa menantang. Bang Sat sang sopir, yang memegang kemudi, ternyata bukanlah sopir yang terampil , tidak cerdas dan tidak fokus.
Mobil beberapa kali tersentak karena pengereman mendadak. Selain itu, Bang Satryo beberapa kali salah jalan, sehingga mereka harus memutar arah. Pak Huntara, yang biasanya tenang, mulai menunjukkan ekspresi kesal.
“Bang Satryo, tolong lebih hati-hati ya. Jangan terlalu tergesa-gesa,” tegurnya dari kursi belakang.
“Maaf, Pak. Tadi saya agak bingung sama petunjuk jalannya,” jawab Bang Satryo sambil mencoba memperbaiki situasi.
Abiya, yang duduk di kursi depan, mulai merasa tidak nyaman karena cara mengemudi yang kasar. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan mengobrol dengan Ayahnya. “Papi, jalanan di sini beda banget sama di Pasuruan, ya. Banyak banget mobil besar,” komentarnya.
“Iya, Nak. Ini Jakarta, jalannya padat. Kamu lihat-lihat saja, biar nggak bosan,” ujar Pak Huntara, berusaha menenangkan putranya.
Akhirnya, setelah perjalanan panjang yang melelahkan, mereka tiba di hotel sekitar pukul setengah dua siang. Hotel Premium yang telah dipesan sebelumnya tampak megah, dengan lobi luas dan desain modern. Abiya, yang semula lelah, kembali bersemangat melihat hotel itu.
“Papi, hotel ini besar sekali! Kamarnya pasti bagus, kan?” tanyanya penuh rasa ingin tahu.
“Tentu saja, Ayah sudah pilih yang terbaik untuk kita,” jawab Pak Huntara sambil tersenyum.
Mereka hanya perlu menunggu sekitar 30 menit sebelum waktu check-in pukul dua siang. Sambil menunggu, Abiya berjalan-jalan kecil di lobi, mengagumi dekorasi hotel. Pak Huntara duduk di sofa lobi sambil menyeruput minuman dingin yang disediakan oleh pihak hotel.
Begitu waktu check-in tiba, mereka naik ke kamar yang telah dipesan. Kamar family room itu luas, dengan dua ranjang besar, sofa empuk, dan balkon yang menghadap ke pemandangan kota Jakarta. Begitu pintu kamar dibuka, Abiya langsung melompat ke salah satu ranjang.
“Papi, kamarnya keren banget! Aku suka!” serunya sambil tertawa.
Pak Huntara tersenyum lega melihat anaknya bahagia. Setelah menata barang-barang dan beristirahat sejenak, mereka bersiap untuk keluar lagi.
Sore harinya, mereka melanjutkan perjalanan ke kawasan Cilandak untuk mengunjungi keponakan Pak Huntara yang memiliki sebuah kafe besar bernama Djamet. Kafe itu cukup terkenal, dengan desain modern dan suasana yang hangat.
Setibanya di kafe, mereka disambut hangat oleh keponakan Pak Huntara. “Om, selamat datang! Bagaimana perjalanan tadi?” tanyanya sambil mempersilakan mereka duduk di meja yang sudah dipesan khusus.
“Lumayan melelahkan, tapi akhirnya sampai juga,” jawab Pak Huntara sambil tertawa kecil.
Kafe Djamet memiliki interior yang mewah, dengan dinding kayu beraksen modern dan lampu gantung artistik. Abiya terlihat kagum dengan suasana kafe itu. “Papi, tempat ini bagus banget! Aku suka,” bisiknya pelan.
Mereka memesan makanan dan minuman. Abiya menikmati minuman dingin favoritnya, sementara Pak Huntara menikmati secangkir kopi hitam. Bang Satryo, sang sopir yang tidak handal, tetap diajak bergabung di meja mereka dan diberikan segelas teh manis serta camilan.
Malam mulai larut ketika mereka meninggalkan kafe untuk kembali ke hotel. Perjalanan pulang terasa lebih lambat karena kemacetan di Jakarta, dan Abiya tertidur di kursi depan. Sesampainya di hotel, Pak Huntara membangunkan anaknya dengan lembut.
“Abiya, kita sudah sampai. Ayo, Nak, waktunya tidur di kamar yang nyaman,” ujarnya.
Abiya membuka matanya perlahan dan tersenyum kecil. “Hari ini seru sekali, Pi. Terima kasih,” katanya sambil berjalan masuk ke kamar.
Malam itu, setelah membersihkan diri, mereka tidur nyenyak di kamar hotel. Meski perjalanan penuh tantangan, kebersamaan mereka membuat hari itu terasa istimewa. Pak Huntara merasa bahagia karena bisa memberikan pengalaman berharga ini untuk Abiya, sementara Abiya merasa semakin sayang dengan ayahnya.