Di Pinggiran Kota yang terkenal dengan sambel sruitnya, sebuah rumah sakit tua yang sudah lama ditinggalkan. Rumah sakit ini dikenal karena berbagai kisah horor yang beredar di kalangan penduduk setempat. Namun, bagi dua sahabat, Riza dan Zika, tempat itu menjadi tantangan yang menarik. Mereka memutuskan untuk menjelajahi bangunan itu pada suatu malam.
Malam itu, langit gelap dihiasi awan tebal, dan angin dingin berbisik lembut di antara pepohonan. Dengan senter di tangan, Riza dan Zika melangkah memasuki area rumah sakit yang sunyi. Suara langkah kaki mereka bergema di lorong-lorong yang sepi.
“Kalau kita menemukan sesuatu, kita bisa jadi terkenal,” ujar Riza dengan semangat.
Zika hanya tersenyum, meski hatinya merasakan sesuatu yang aneh. Mereka menyusuri lorong yang dipenuhi dengan debu dan kegelapan. Lampu-lampu yang rusak berkelap-kelip, menambah kesan mencekam.
Setelah beberapa saat menjelajahi ruang-ruang kosong, mereka mendengar suara yang membuat bulu kuduk mereka meremang. Suara itu tidak lain adalah tangisan perempuan. Tangisan yang lembut namun penuh kesedihan. Sumber suara itu sepertinya datang dari tangga yang mengarah ke lantai atas.
“Riza, kau juga mendengarnya?” tanya Zika, suaranya bergetar.
“Tentu, ayo kita cari tahu,” Riza menjawab, meskipun rasa takut mulai melanda.
Mereka berdua perlahan mendekati tangga. Suara tangisan itu semakin jelas terdengar. Dalam kegelapan, mereka dapat melihat bayangan samar seorang perempuan di atas anak tangga, mengenakan gaun putih yang panjang. Rambutnya panjang dan liar, menutupi wajahnya.
“Siapa kau?” Riza mencoba bersuara, namun suaranya terdengar seperti bisikan.
Perempuan itu tidak menjawab. Ia terus menangis, suara isakan yang penuh kesedihan. Melihat itu, Zika merasa tergerak. Dalam pikirannya, mungkin perempuan itu membutuhkan pertolongan. Dia melangkah maju.
“Kami di sini untuk membantu,” ujarnya dengan sabar.
Tangisan perempuan itu berhenti sejenak, dan dia mengangkat wajahnya. Mata perempuan itu terlihat kosong dan penuh raut kesedihan. “Tolong carikan aku,” katanya pelan, suaranya setengah berbisik. “Aku terjebak di sini.”
Zika dan Riza saling pandang, bingung dengan permohonan itu. “Terjebak di mana?” tanya Riza.
“Di dalam kenangan ini,” jawabnya dengan lirih. “Setiap malam aku menunggu, menunggu orang yang mencariku…”
Semakin lama, suasana semakin menekan. Riza merasakan hawa dingin menyentuh kulitnya. “Kita harus pergi,” kata Riza, merasa ketakutan yang semakin membesar.
Tapi Dika tetap berdiri, terpesona oleh sosok yang memohon itu. “Apa yang terjadi padamu?” tanyanya, mencoba memahami.
“Aku sakit… dan tidak ada yang datang menjemputku,” jawab perempuan itu, air matanya mengalir deras. “Keluargaku meninggalkanku di sini, dan aku mati sendirian.”
Riza menarik lengan Zika, berusaha membawanya pergi. Namun, saat ia melakukannya, perempuan itu tiba-tiba berdiri, mendekati mereka dengan wajah yang tampak marah. “Jangan pergi! Tolong cari aku!” teriaknya, suaranya menggema di seluruh lorong.
Zika merasakan angin dingin berhembus dengan kencang, seolah ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk melarikan diri. Riza menarik Zika lebih keras, dan keduanya akhirnya berlari menuruni tangga, meninggalkan suara tangisan yang semakin jauh.
Mereka berlari hingga keluar rumah sakit, napas mereka terengah-engah. Di luar, langit tampak lebih gelap dari sebelumnya, dan angin malam terasa semakin menakutkan. Mereka tidak berhenti hingga mencapai rumah zika.
Dari kejauhan, mereka mendengar suara tangisan itu berkali-kali, seolah mengikutinya. Dika menoleh, tetapi tidak ada siapa-siapa. “Riza apa kau pikir… dia benar-benar terjebak?” tanyanya, mata zika dipenuhi ketakutan.
“Sudahlah, jangan pikirkan itu lagi,” Riza mencoba menenangkan. “Kita harus melupakan semua ini.”
Namun, saat mereka beranjak menjauh dari rumah sakit, malam itu, bayangan perempuan bersedih dan suara tangisnya akan terus membayangi mereka selamanya. Dan di dalam kegelapan, suara tangisan itu tetap menggema, menunggu untuk ditemukan oleh jiwa-jiwa yang mendekat.