Malam itu, suasana alun-alun Magelang begitu ramai. Masyarakat berduyun-duyun menghadiri tablig akbar, acara yang menghadirkan seorang penceramah kondang dengan tema besar, Keberkahan Rezeki dan Kesederhanaan. Di antara kerumunan, seorang pria paruh baya berjalan perlahan, membawa nampan berisi es teh yang diletakkan di atas kepalanya. Ia adalah Pak Marjuki, yang akrab dipanggil Pak Juki.
Pak Juki dikenal sebagai sosok pekerja keras. Ia tak punya gerobak seperti pedagang lainnya, namun ia tetap berkeliling membawa nampan kayu berisi gelas-gelas plastik es teh manis. Tubuhnya yang kurus tampak ringkih, namun langkahnya selalu penuh keyakinan. Dengan senyum sederhana, ia menawarkan dagangannya kepada setiap orang yang ditemuinya.
Di tengah ceramah, tiba-tiba sang penceramah menghentikan pembahasannya. Pandangannya tertuju pada Pak Juki yang berjalan di pinggir kerumunan, mencoba menawarkan es teh kepada penonton. Sambil memegang mikrofon, ia berkata lantang, “Itu, Bapak penjual es teh! Masih banyak es teh-nya, Pak?”
Pak Juki terkejut. Ia berhenti sejenak, menundukkan kepala dengan sopan, lalu menjawab pelan, “Masih, Pak Ustaz.”
Penceramah itu tertawa kecil, lalu melanjutkan dengan nada bercanda, “Masih? Ya sudah, dijual lah, gob**k!” Ucapan itu diakhiri dengan kata kasar yang membuat kerumunan sontak tertawa.
Tawa para penonton membahana, seolah ucapan itu adalah humor terbaik malam itu. Namun, ketika kamera menyorot wajah Pak Juki, nampak jelas perubahan di ekspresinya. Senyum yang tadi mengembang di wajahnya perlahan memudar. Matanya menunjukkan rasa malu yang mendalam, meski ia berusaha tetap tersenyum.
Setelah acara selesai, alun-alun perlahan kembali sepi. Pak Juki melanjutkan langkahnya, masih membawa beberapa gelas es teh yang belum terjual. Biasanya, ia menyapa setiap pembeli dengan ramah. Namun malam itu, senyumnya tampak lebih berat dari biasanya.
Rizal, seorang pemuda yang sejak awal melihat kejadian tersebut, memutuskan untuk mendekati Pak Juki. Ia membeli satu gelas es teh, lalu berkata dengan hati-hati, “Pak, tadi saya lihat Bapak diomongin sama ustaz itu. Bapak nggak apa-apa, kan?”
Pak Juki tersenyum tipis sambil mengusap keringat di dahinya. “Nggak apa-apa, Nak. Mungkin Ustaz cuma bercanda.”
“Tapi, Pak,” Rizal melanjutkan, “kata-kata itu kan kurang pantas. Apa Bapak nggak merasa tersinggung?”
Pak Juki menurunkan nampan dari kepalanya dan meletakkannya di atas bangku kayu. Ia duduk sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab, “Tersinggung? Sedikit, Nak. Tapi kalau saya marah, apa itu bisa mengubah apa-apa? Saya ini cuma penjual es teh. Orang kecil seperti saya, siapa yang mau peduli?”
Rizal terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Sebagai pemuda yang masih duduk di bangku kuliah, ia merasa kesal melihat seseorang seperti Pak Juki direndahkan, tapi ia juga sadar bahwa orang-orang seperti Pak Juki sering kali tak punya ruang untuk membela diri.
Keesokan harinya, video momen tersebut viral di media sosial. Banyak yang menonton rekaman itu, sebagian menganggapnya lucu, namun banyak juga yang mengecam penceramah itu. Mereka menilai kata-kata tersebut tidak pantas diucapkan di depan publik, apalagi ditujukan kepada seorang pedagang kecil.
Pak Juki sendiri tidak tahu apa-apa soal video tersebut sampai seorang pelanggan tetapnya, Bu Siti, menunjukkan video itu di ponselnya. “Pak Juki, video Bapak sama ustaz itu viral, lho. Banyak yang komentar.”
Pak Juki mengernyitkan dahi. “Viral? Video apa, Bu?”
“Yang kemarin, pas tablig akbar. Banyak yang bilang ustaz itu keterlaluan,” jelas Bu Siti sambil menunjukkan video itu.
Melihat dirinya di layar ponsel, Pak Juki hanya tersenyum lemah. “Ah, nggak apa-apa, Bu. Biarin aja. Saya tetap jualan es teh seperti biasa.”
Namun, di balik ketenangannya, ada rasa malu yang tak bisa ia sembunyikan. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak di depan ratusan orang.
Di sisi lain kota, sang penceramah mulai menerima kritik pedas dari berbagai pihak. Banyak komentar di media sosial yang mengecam ucapannya. “Harusnya ustaz itu memberi contoh, bukan merendahkan orang kecil!” tulis salah satu netizen.
Merasa bersalah, penceramah tersebut memutuskan untuk menemui Pak Juki secara langsung. Ia datang ke tempat biasa Pak Juki berjualan, di sudut alun-alun, ditemani beberapa asistennya.
“Assalamu’alaikum, Pak,” sapanya dengan suara pelan.
Pak Juki menoleh, sedikit terkejut melihat sang penceramah datang menghampirinya. “Wa’alaikumsalam, Ustaz. Ada yang bisa saya bantu?”
Penceramah itu duduk di bangku kayu di samping Pak Juki. “Pak, saya datang untuk minta maaf. Saya sadar kemarin saya salah. Kata-kata saya menyinggung perasaan Bapak.”
Pak Juki menatap pria itu sejenak, lalu mengangguk pelan. “Saya sudah memaafkan sejak kemarin, Ustaz. Saya tahu, mungkin Ustaz hanya bercanda.”
“Tapi, candaan saya terlalu kasar,” lanjut sang penceramah. “Saya tidak bermaksud merendahkan, Pak. Justru saya sangat menghormati perjuangan Bapak.”
Pak Juki tersenyum tipis. “Terima kasih, Ustaz. Tapi kalau boleh jujur, kata-kata itu memang menyakitkan. Saya ini cuma penjual es teh. Kadang, yang saya harapkan hanya dihormati seperti manusia pada umumnya.”
Penceramah itu menunduk, merasa bersalah. “Bapak benar. Saya salah. Sebagai gantinya, saya ingin membantu usaha Bapak. Apa Bapak bersedia menerima?”
Pak Juki menggeleng pelan. “Terima kasih, Ustaz. Saya tidak butuh bantuan. Yang saya butuhkan hanya rasa hormat.”
Kata-kata itu membuat penceramah itu terdiam. Ia menyadari bahwa tidak semua luka bisa diobati dengan uang atau bantuan materi.
Setelah kejadian itu, penceramah tersebut menyampaikan klarifikasi di media sosial dan meminta maaf secara terbuka. Ia juga mengingatkan para pendengarnya untuk lebih berhati-hati dalam berbicara, terutama kepada orang kecil yang sering kali tidak memiliki kekuatan untuk membela diri.
Sementara itu, Pak Juki tetap berjualan seperti biasa. Namun, ia merasa ada pelajaran berharga dari kejadian itu. Sebagai manusia, ia belajar untuk memaafkan, tetapi juga untuk menjaga harga dirinya.
Suatu hari, Rizal kembali membeli es teh darinya. “Pak, saya salut sama Bapak,” katanya sambil menyeruput es teh yang segar.
Pak Juki tersenyum kecil. “Salut kenapa, Nak?”
“Karena meskipun ada yang merendahkan, Bapak tetap tegar. Kalau saya yang di posisi Bapak, mungkin saya sudah marah-marah.”
Pak Juki tertawa kecil. “Nak, hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Yang penting, kita tahu nilai diri kita. Kalau kita yakin apa yang kita lakukan itu baik, ucapan orang lain nggak akan bisa merendahkan kita.”
Rizal tersenyum. Di bawah langit Magelang yang cerah dan segelas es teh yang dingin, ia belajar pelajaran hidup yang tak ternilai dari seorang pria sederhana bernama Pak Juki.