Oriza Sativa adalah seorang gadis remaja yang cantik, kesukaan kesehariannya mendengarkan kajian agama yang viral di media sosial. Semua kajian di media sosial dia ingat semua, bisa menceritakan ulang kembali, baik kajian ustadz muda maupun tua. Oriza gadis yang hebat. Cita-citanya ingin menjadi santri di sebuah pondok pesantren yang ada di Jawa Barat. Namun sayang, orang tuanya tidak mengijinkan keinginan tersebut. Hidupnya terombang- ambing antara keinginan orang tua dan keinginan hatinya.
Oriza Sativa, satu nama yang cantik, namun nama itu tidak secantik nasibnya. Kisah hidupnya membuat orang yang tahu dirinya akan sangat sedih karena teramat beratlah penanggungan hidupnya. Jika aku dapat menolong, sungguh aku ingin mengabulkan apa-apa yang benar-benar menjadi impiannya untuk hidup di pondok pesantren. Tapi siapalah aku ini, menemui orang tuanya saja aku tidak berani. “Maafkan aku Oriza, aku sahabatmu, tapi aku lemah dan tidak berdaya untuk membantu mencari solusi masalah hidupmu”, berkali-kali hatiku merintih tatkala mengingat pedih hatinya.
Suatu hari Oriza menemuiku, menceritakan kisah hidupnya yang penuh duka. Perlakuan orang tua dan keluarga pada dirinya sangat tidak adil dirasakannya. Bagaimana bisa? Seorang ibu yang seharusnya mengayomi, menyayangi, dan memeluknya ketika hidupnya terasa galau, justru bersikap sebaliknya, selalu menyalahkan dirinya. Ibunya merasa menyesal mempunyai anak seperti dia
dan selalu menganggap Oriza sangat bodoh bahkan menyusahkan orang tuanya.
Hatiku kembali merintih, “Oh Oriza, setiap mendengar ceritamu, aku selalu menangis. Hanya bisa menangis,”bisikku lirih yang suaranya kudengar sendiri di kamar yang sepi ini. Perlahan kudekap pundaknya, lalu kukuatkan hati untuk bicara sekedar mensupport semangatnya. “Kamu manusia terpilih Oriza, kamu sangat hebat. Allah memberikan cobaan ini karena Allah Maha Tahu bahwa kamu akan mampu melaluinya.” Kami hanya bisa berpelukan bersama untuk melebur kesedihan dan sesak dada kami agar terasa sedikit lega.
Kehidupan Oriza penuh kekerasan. Orang tuanya sering menyakiti, baik secara fisik maupun secara verbal. Lingkungan sekitarnya dipenuhi ketidakadilan, kekerasan, kemarahan dan bentakan. Kulihat trauma membayangi raut wajahnya. Sikap dan ucapannya mirip penderita stress; jika mendengar suara keras, cacian atau hinaan, sekalipun kata-kata itu bukan ditujukan untuknya, maka dia akan ketakutan. “Sabarlah Oriza, tabahlah, kuatkan jiwa ragamu!” kembali kata-kata lemah itu yang aku ucapkan untuk menghiburnya. Sejatinya hatiku juga merasakan pilu hatinya. Aku merasa lemah, jika aku yang mengalami hal tersebut belum tentu aku mampu melewatinya.
“Kamu hebat Oriza, kamu manusia terpilih.”berulang aku mengucapkan kalimat itu untuk menguatkan hatinya.
Sampai suatu hari Oriza menemuiku sembari berkata,“Saya sudah tidak sanggup Fen, rasanya percuma kuhidup selalu seperti ini.” Aku terhenyak mendengar perkataannya. Air matanya mulai menetes membasahi pipi. Oriza…, sabarlah, kuatlah!”hanya kata-kata itu yang bisa kuucapkan. Selanjutnya Oriza menceritakan hal nekad yang ingin dia lakukan. Dia akan minggat dari rumah. Dia mau nekat pergi ke pondok pesantren. Dia merasa hidupnya tidak akan berarti jika masih tinggal bersama orang tuanya.
Di pagi buta di hari Jumat, pekan terakhir di bulan Agustus, Oriza merealisasikan keinginannya. Sehabis shalat subuh, dengan mengendap- endap dia pergi naik ojek menuju jalan raya. Dia naik travel menuju Jawa Barat ke Pondok Pesantren impiannya. Setelah 12 jam perjalanan, Oriza sampai ke Pondok DT, sebuah pondok yang telah lama diinginkannya. Dengan keberanian yang dia kumpulkan, ia meminta izin untuk bisa bertemu dengan ustadz favoritnya. Ustadz yang kajiannya sudah Oriza hafal isinya dan dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan, terutama untuk mengendalikan emosinya saat menghadapi keluarga yang selalu menghujatnya.
Setelah beberapa bulan kepergian Oriza ke Pondok Pesantren, ia memberi kabar via video call, “Saya lebih tenang di sini Fen, tidak ada suara mama yang selalu menyudutkan dan menghujatku. Juga tidak ada suara papa yang selalu berteriak memarahiku saat aku mengutarakan keinginan untuk pergi ke pondok ini. Dan meski jiwaku terluka sedemikian parah Fen, aku tidak
benci Mama dan Papa. Aku selalu mendoakan semoga beliau mau menerima keinginanku untuk hidup di pondok pesantren dengan senang hati. Suatu hari nanti, aku akan pulang menemui beliau untuk minta maaf atas segala keputusan yang kuambil ini. Tolong jaga Mama dan Papaku, ya Fen! Terimakasih untuk kebersamaan kita selama ini.” Oriza menutup percakapan sembari terisak. Terbayang air mata Oriza meleleh dipipinya yang tirus dan pucat. Dengan menangis juga aku mengaminkan segala doa dan harapannya. Semoga Oriza akan selalu sehat dan bahagia. Semoga dia tambah tawakkal dan makin bersemangat dengan pilihannya. Aamiin Yaa Rabbalalaamiin.
mantap cerpen nya bagus