Laras menatap jendela kelas yang mulai diselimuti hujan. Langit kelabu, seakan mencerminkan hatinya yang tengah merasakan kehampaan. Hidup Laras terlihat sempurna bagi orang lain. Ia adalah guru PPKn yang dihormati di salah satu SMA negeri di Lampung Selatan, seorang perempuan yang cerdas, cantik, dan ramah. Namun di balik senyumnya yang selalu tampak, ada rasa sepi yang tak pernah hilang.
Sebelum diangkat sebagai guru tetap di SMA, Laras memulai kariernya sebagai guru honorer di sebuah SMK di Lampung Selatan. Di sana, ia mengajar dengan penuh semangat meskipun harus berjuang menghadapi banyak tantangan. Dengan gaji yang tak seberapa dan fasilitas terbatas, Laras menjalani hari-harinya dengan dedikasi tinggi. Murid-murid di SMK menyayanginya karena ia selalu berusaha memahami kesulitan mereka dan membantu mereka dengan sepenuh hati. Setiap hari, ia menempuh perjalanan jauh dari rumahnya, melewati jalanan yang terkadang licin dan berdebu.
Meski demikian, di hatinya, Laras tak pernah menyerah. Ia percaya bahwa menjadi guru adalah panggilan hidupnya. Meskipun statusnya hanya honorer, ia terus memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya. Setiap kali berdiri di depan kelas, ia merasakan kepuasan ketika melihat murid-muridnya tertarik dengan materi yang ia ajarkan.
Setelah bertahun-tahun mengabdi sebagai guru honorer, Laras akhirnya mendapat kabar bahagia—ia diangkat sebagai guru PPPK di salah satu SMA Negeri di Lampung Selatan. Kabar ini seakan menjadi titik balik dalam hidupnya. Meskipun berat meninggalkan SMK yang sudah seperti rumah kedua, Laras merasa inilah kesempatan untuk berkembang lebih jauh. Ia berharap di tempat baru, ia bisa menginspirasi lebih banyak siswa dan memberikan kontribusi yang lebih besar.
Setiap kali Laras memasuki ruang guru di SMA barunya, tawa dan canda dari rekan-rekannya langsung menghidupkan suasana. Mereka menantikan kehadirannya, karena Laras membawa keceriaan ke mana pun ia pergi. Tapi di dalam kelas, ia adalah sosok yang tegas, penuh disiplin. Ia mengajar dengan penuh dedikasi, memastikan setiap muridnya mendapat pendidikan terbaik. Murid-murid menyayanginya, meski mereka tahu, Laras tak pernah memberi mereka jalan mudah.
Namun, kehidupan pribadi Laras tak seindah di sekolah. Di kampung, di Lampung Timur, ia selalu pulang dengan hati berat. Tetangga selalu bertanya, “Kapan kamu menikah, Laras?” Sementara kisah cintanya selalu kandas tanpa alasan yang jelas. Berulang kali hatinya patah, dan berulang kali ia mencoba bangkit, namun setiap kali jatuh cinta, yang ia temukan hanyalah kesedihan.
Beberapa waktu lalu, Laras baru saja menyelesaikan tugasnya dalam program Pengajar Muda, sebuah inisiatif yang mengirimkan para guru muda untuk mengajar di pelosok-pelosok Lampung. Ia ditempatkan di daerah terpencil, di mana akses pendidikan hampir tak ada. Setiap hari ia menempuh perjalanan jauh ke sekolah, melewati hutan dan sungai. Namun, pengalaman itu justru membuatnya lebih kuat dan teguh. Laras mencintai pekerjaannya, meski sering kali menghadapi tantangan besar.
Namun, setelah kembali dari tugasnya, tekanan sosial mulai terasa semakin nyata. Di kampung halamannya, usianya mulai dipandang sebagai “terlambat” untuk menikah. Setiap pertemuan keluarga atau perayaan, pertanyaan itu selalu muncul, seolah menjadi beban yang tak bisa ia hindari. “Kapan kamu akan menikah, Laras? Sudah waktunya, lho.” Setiap kata seperti pisau yang menyayat perasaannya. Tak jarang, ketika malam tiba dan ia sendirian di rumah, Laras menangis. Bukan karena ia tak ingin menikah, tapi karena hatinya sudah terlalu sering patah.
Sampai suatu hari, hidupnya berubah ketika ia bertemu Bayu, seorang pemuda dari Lampung Selatan yang bekerja di bidang teknologi pendidikan. Pertemuan itu awalnya tak istimewa—sekadar perbincangan biasa di ruang guru saat Bayu datang untuk mengurus proyek sekolah. Namun, lama-kelamaan, Bayu mulai memperlihatkan perhatiannya pada Laras. Ia sering mampir hanya untuk sekadar berbicara atau mengajaknya makan siang.
Laras yang awalnya dingin dan tertutup perlahan membuka diri. Bayu bukan hanya sopan dan baik hati, tetapi ia juga tak pernah memaksakan apapun pada Laras. Ia memberi Laras ruang untuk tetap menjadi dirinya sendiri. Tak ada tekanan, tak ada paksaan. Bayu juga memahami ketakutan dan luka yang Laras sembunyikan selama ini. Di setiap pertemuan, ia selalu mendengarkan dengan sabar, tanpa pernah menuntut.
Suatu malam, di sebuah kafe kecil di tepi pantai, Bayu akhirnya menyatakan perasaannya. “Laras, aku tahu kamu sudah sering terluka. Aku paham kalau kamu mungkin takut untuk memulai lagi. Tapi aku di sini untukmu, bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk masa depan kita. Aku ingin mencintaimu dengan caraku, dengan penuh kesabaran. Aku tidak ingin terburu-buru, aku hanya ingin kita berjalan bersama.”
Laras terdiam, hatinya dipenuhi perasaan yang campur aduk. Satu bagian dari dirinya ingin melindungi diri, takut terluka lagi. Tapi bagian lain—bagian yang lebih dalam—merasa bahwa Bayu berbeda. Ia merasakan ketulusan yang selama ini ia rindukan, cinta yang tak didasari oleh keinginan untuk mengubah dirinya, tetapi justru menerima Laras apa adanya.
Tak lama setelah itu, Bayu melamarnya. Bukan dengan pesta mewah atau cincin berlian yang berkilauan, tetapi dengan janji yang diucapkan dengan hati yang tulus. Laras menerima lamarannya dengan penuh haru, akhirnya merasakan ketenangan yang selama ini ia cari. Mereka menikah dalam upacara sederhana, dihadiri keluarga dan kerabat dekat. Kali ini, ketika tetangga bertanya, “Kapan menikah?”, Laras menjawabnya dengan senyuman penuh arti.
Pernikahan itu membawa Laras ke kehidupan baru yang penuh kebahagiaan. Di sisi Bayu, ia menemukan kedamaian yang selama ini hilang. Mereka tidak hanya berbagi cinta, tetapi juga saling mendukung dalam setiap langkah hidup. Bayu tak hanya menjadi suami, tetapi juga sahabat terbaik yang selalu ada untuk Laras, bahkan di saat-saat paling sulit.
Laras kini menjalani hari-harinya dengan perasaan yang lebih ringan. Ia tetap mengajar dengan semangat yang sama, tetap menjadi guru yang tegas dan disiplin. Tapi di balik semua itu, ada ketenangan di hatinya yang dulu tak pernah ia miliki. Cinta yang datang pada waktunya telah mengubah hidupnya, membawa kebahagiaan yang tak terduga.
Dan di setiap langkahnya, Laras tahu bahwa kebahagiaan tak selalu datang dengan cara yang mudah. Kadang, ia datang setelah perjalanan yang panjang dan penuh luka. Tapi pada akhirnya, cinta yang tulus selalu menemukan jalannya, membawa kedamaian bagi mereka yang bersedia menunggu dengan hati yang terbuka.
Kini, Laras tak lagi cemas dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pernikahan atau pandangan masyarakat tentang usianya. Ia tahu, hidup bukan tentang memenuhi ekspektasi orang lain, tetapi tentang menjalani takdir dengan ketulusan dan cinta. Bersama Bayu, Laras akhirnya menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari, di waktu yang tepat, di saat ia siap untuk menerima cinta seutuhnya.
Setiap kali jatuh cinta, yang ia temukan hanyalah kesedihan