Kehidupan Saira berjalan seperti biasa, penuh dengan rutinitas yang tak banyak berubah. Sebagai seorang guru honorer, ia terbiasa mengajar di sekolah kecil di desanya, Kalianda, Lampung Selatan. Namun, siang itu, sebuah surat yang datang mengubah semuanya. Surat Keputusan (SK) penempatan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang dinantikannya telah tiba.
Dengan tangan bergetar, Saira membuka amplop itu. Matanya membaca baris demi baris, hingga sampai pada bagian yang membuatnya terkejut sekaligus sedih: penempatannya bukan di tempat ia biasa mengajar, melainkan di Kabupaten Way Kanan, Lampung Utara, jauh dari kampung halamannya.
“Apakah ini benar?” bisiknya pelan. Ia merasa bahagia sekaligus cemas. Betapa tidak, setelah melewati seleksi yang panjang dan melelahkan, ia akhirnya mendapatkan pekerjaan yang stabil. Namun, harus meninggalkan rumah dan keluarganya? Pikiran itu membuat hatinya diliputi keraguan.
Sesampainya di rumah, Saira duduk bersama ibunya. Dengan suara lirih, ia menyampaikan kabar itu. “Ibu, Alhamdulillah, Saira sudah mendapatkan SK PPPK. Tapi…” Saira menggantungkan kalimatnya, menahan air mata yang hampir jatuh. “Penempatannya di luar kabupaten. Jauh dari sini.”
Ibunya menatapnya dengan lembut, menggenggam tangan Saira. “Nak, ini adalah rezeki dari Allah. Tidak semua orang punya kesempatan seperti ini. Memang berat, tapi ini jalanmu untuk masa depan yang lebih baik. Kau harus mengambilnya,” ucap ibunya bijak.
Kata-kata ibunya memberi kekuatan pada Saira. Meski masih berat hati, ia tahu bahwa ini adalah keputusan terbaik. Malam itu, ia merenung lama, membayangkan berbagai kemungkinan—baik dan buruk yang mungkin terjadi. Ia tahu, meninggalkan rumah berarti meninggalkan kenyamanan, tetapi juga membuka pintu untuk pengalaman baru.
Hari keberangkatan pun tiba. Saira memeluk ibunya erat, menahan tangis yang hampir pecah. “Jaga diri ya, Bu,” katanya dengan suara bergetar. Ibunya mengangguk, memberikan senyum yang dipaksakan agar tetap terlihat tegar.
Di perjalanan menuju Way Kanan, perasaan campur aduk memenuhi hati Saira. Rasa penasaran bercampur dengan kegelisahan akan apa yang menantinya di tempat baru itu. Namun, ia tahu, tak ada jalan untuk kembali. Perjalanan ini harus dijalani dengan sepenuh hati.
Sesampainya di Way Kanan, suasana baru menyambutnya. Udara terasa lebih kering, dengan lanskap yang berbeda dari kampung halamannya. Di kantor tempatnya bertugas, ia disambut dengan hangat oleh petugas dan rekan-rekan kerja baru. Mereka adalah orang-orang dari berbagai daerah yang juga sedang meniti karir di tempat baru.
Hari-hari pertama terasa berat. Saira harus beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda, budaya yang tak biasa, dan sistem kerja yang belum ia kenal. Namun, berkat keramahan rekan-rekannya, perlahan-lahan ia mulai merasa nyaman. Mereka sering membantunya, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan sehari-hari. Dari berbagi cerita hingga makan bersama, suasana kebersamaan itu membuat Saira merasa seperti memiliki keluarga baru.
Seiring berjalannya waktu, Saira mulai melihat sisi positif dari penempatannya. Ia belajar menghargai perbedaan, memahami cara hidup yang baru, dan menemukan potensi dirinya yang sebelumnya tersembunyi. Ia juga merasa bangga bisa berkontribusi untuk pendidikan di daerah yang membutuhkan.
“Bu, ternyata tempat ini tidak seburuk yang Saira bayangkan,” katanya suatu malam saat menelepon ibunya. “Saira memang rindu rumah, tapi di sini Saira belajar banyak hal. Semua ini benar-benar membuka mata Saira.”
Ibunya tersenyum dari seberang telepon, merasa lega mendengar perubahan nada bicara putrinya. “Ibu tahu kau bisa, Nak. Kau selalu kuat.”
Tahun demi tahun berlalu, dan Saira semakin mencintai hidupnya di Way Kanan. Ketika akhirnya ia mendapat kesempatan untuk pulang ke Kalianda, ia merasa bukan hanya kembali sebagai seorang anak, tetapi juga sebagai seseorang yang telah tumbuh dewasa, membawa banyak pengalaman dan cerita.
Di setiap cerita yang ia bagikan, Saira menyadari satu hal: kehidupan selalu penuh dengan kejutan. Terkadang, perubahan yang tampak sulit dan menakutkan adalah pintu menuju kesempatan yang lebih besar.
Meski suatu saat nanti ia mungkin kembali ke kampung halamannya, Saira tahu ia telah mendapatkan pandangan yang lebih luas tentang dunia. Kehidupan di luar sana mengajarkannya untuk bersyukur atas keberagaman dan peluang yang ada.
Saira berdiri di depan jendela rumahnya di Kalianda, memandang jauh ke arah perbukitan. Dalam hatinya, ia berbisik, Terima kasih, Way Kanan. Kau telah memberiku lebih dari sekadar pengalaman. Kau memberiku keberanian untuk melangkah, meski jauh dari rumah.
Hidup memang penuh dengan tantangan, tetapi dengan hati yang kuat dan dukungan dari orang-orang tercinta, perjalanan itu selalu layak dijalani.