Jakarta pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari menyusup lembut di sela tirai jendela, menerangi kamar yang penuh kenangan. Pak Halim Sadiman, S.H., lelaki berusia 78 tahun dengan uban yang mulai kembali tumbuh di kepalanya, duduk di kursi rotan favoritnya. Di tangannya, ia menggenggam secangkir teh hangat. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena teh yang terlalu panas, melainkan karena pikirannya yang sibuk melayang-layang ke masa lalu.
“Ah, sudah 98 hari sejak aku cukur gundul,” gumamnya sambil meraba kepala yang kini terasa lebih berbulu. Rambut tipis mulai tumbuh kembali, memperlihatkan campuran warna hitam dan putih yang membuatnya tampak lebih bijaksana.
Ini adalah kali kedua dalam hidupnya Pak Halim mencukur gundul. Pertama kali, ia masih balita, waktu ia sendiri belum tahu apa arti rambut. Yang kedua, di usia 78 tahun, ia memutuskan untuk merasakan kembali pengalaman itu. Sebuah keputusan sederhana, tapi bagi Pak Halim, setiap momen dalam hidup selalu punya cerita.
Ketika kecil, hidup Pak Halim tak lepas dari kebiasaan tradisional. Waktu ia bersekolah di SR (Sekolah Rakyat) pada awal 1950-an, rambutnya selalu dipangkas oleh tukang cukur di bawah pohon asem di dekat pasar. Pak Man, si tukang cukur, selalu menyambut Halim kecil dengan senyuman lebar dan sapaan hangat.
“Rambutmu ini cepat sekali tumbuh, Halim! Sudah seperti rumput di sawah,” canda Pak Man sambil mengayunkan guntingnya.
Halim kecil hanya tersenyum malu-malu. Ia tidak terlalu peduli dengan model rambut, asalkan kepalanya terasa ringan dan tidak kepanasan. Namun, segalanya berubah ketika ia mulai masuk SMA.
“Saya SMA, kok masih cukur di bawah pohon asem?” pikir Halim remaja suatu hari.
Ia mulai merasa malu setiap kali melewati tempat Pak Man. Teman-temannya sering mengejeknya karena masih menggunakan jasa tukang cukur pinggir jalan. “Sudah gede, masa nggak ke barber shop?” ejek mereka.
Halim pun mulai mencoba gaya baru. Ia menghindari Pak Man dan membiarkan rambutnya sedikit lebih panjang. Kadang-kadang, ia pergi ke barber shop di pusat kota, meskipun harus menghemat uang jajan demi membayar jasanya. Barber shop itu memberikan pengalaman yang berbeda: kursi putar, cermin besar, dan wangi minyak rambut yang khas. Tapi tetap saja, Halim merasa ada yang hilang. Tak ada candaan hangat seperti dari Pak Man, hanya formalitas semata.
Ketika Halim kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada pertengahan 1960-an, rambut panjang mulai menjadi gaya khas mahasiswa. Halim tidak terkecuali. Rambutnya dibiarkan sedikit gondrong, melambangkan semangat kebebasan.
Namun, ia tetap sederhana. Ketika rambutnya terlalu panjang, Halim hanya memotongnya sendiri di depan cermin. “Kres, kres, kres,” begitu bunyi gunting yang ia gunakan. Cara ini terus menjadi kebiasaannya bahkan setelah ia lulus dan mulai bekerja.
“Kenapa harus bayar tukang cukur kalau bisa potong sendiri?” pikir Halim. Selain hemat, ada kepuasan tersendiri ketika melihat hasil kerja tangan sendiri, meskipun kadang tak seimbang atau terlalu pendek di satu sisi.
Setelah pensiun, kebiasaan itu tetap berlanjut. Rambutnya memang tidak lagi selebat dulu, tapi Halim tetap memotongnya sendiri. Hingga satu hari, pada 28 Agustus 2024, sebuah ide muncul di kepalanya.
“Mengapa tidak mencoba gundul lagi? Sudah puluhan tahun sejak aku terakhir merasakan kepala tanpa rambut,” ujarnya pada dirinya sendiri.
Hari itu, Halim duduk di depan cermin besar di kamar mandi. Ia mengambil alat cukur listrik yang sudah lama tersimpan di laci. Dengan tangan mantap, ia mulai mencukur rambutnya hingga habis. Potongan rambut jatuh ke lantai, helai demi helai. Ketika selesai, Halim menatap bayangannya di cermin.
“Hmm, aku tampak seperti bayi tua,” gumamnya sambil tertawa kecil.
Tetangganya, Bu Lastri, yang melihat penampilan barunya, tak bisa menahan komentar. “Pak Halim, kok gundul? Apa mau jadi tentara lagi?” canda Bu Lastri sambil tertawa renyah.
Halim hanya tersenyum. Ia merasa ringan, tidak hanya secara fisik tetapi juga mental. Mencukur rambutnya hingga gundul adalah cara sederhana untuk mengenang masa lalu dan menerima kenyataan bahwa usia tua adalah bagian alami dari kehidupan.
Kini, 98 hari telah berlalu. Rambut uban yang dulu habis kini mulai tumbuh kembali. Halim menikmati setiap helai yang muncul, seolah mereka adalah simbol waktu yang terus berjalan. Ia tahu, suatu hari rambut itu akan kembali memutih, tetapi itu bukan masalah.
Halim memandang laci di dekat meja kerjanya. Di dalamnya, tersimpan gunting cukur yang sudah menemani perjalanan hidupnya selama puluhan tahun.
“Nanti, tiga bulan lagi, aku akan kembali membuka laci itu,” pikir Halim. “Dan kres, kres, kres… aku akan mencukur rambutku sendiri lagi.”
Bagi orang lain, perkara cukur mungkin adalah hal remeh. Tapi bagi Halim, setiap helai rambut menyimpan cerita, setiap potongan adalah saksi perjalanan hidupnya. Dan meskipun hidup terus berjalan, ia yakin akan selalu ada hal-hal kecil yang membuatnya tersenyum.