“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un… itu musibah, Nia,” kata-kata Umi Qudwah yang gemetar bercampur isak tangis di ujung telepon masih terngiang di telinga Kuniasari. Hatinya menjadi bergetar, namun akal sehatnya masih menolak semua kebaikan yang diucapkan Umi Qudwah. Dalam temaram lampu kamarnya yang hanya 5 watt, suasana menjadi beku di senja akhir bulan Oktober ini. Hujan turun cukup deras semingguan terakhir, membuat apa pun yang tak terlindung terasa lembab dan dingin. Matanya menerawang jauh ke langit-langit. Pikirannya kalut. Terbayang amarah Ibunda dan Ayah tercinta. Terngiang isak tangis dan ucapan kecewa Umi Qudwah, namun hatinya masih dibuai suara-suara Ayu Komang Nurani yang penuh janji. Suara kebebasan dan kenikmatan yang lebih dari yang biasa dijalani selama ini.
“Nia, lihatlah merpati-merpati putih itu! Mereka begitu cantik dan nampak riang gembira. Hidupnya lepas bebas sesuka-suka. Dan kaulihat itu, Nia! Kucing-kucing Anggora yang lucu, anjing Herder yang gemoy, mereka semua lucu-lucu dan ceria. Mereka semua hidup bebas. Kapan mereka mau makan apa pun, bisa mereka lakukan. Sungguh beda dengan kamu, Nia. Kamu cantik, pintar, tapi hidupmu tertekan aturan. Rambut dan wajahmu yang cantik harus kamu tutup dengan kain.
Bodimu yang ramping semampai harus kamu tutup dengan jubah lebar dan bahkan nggak boleh transparan sedikit pun. Leher jenjangmu yang bagus dengan untaian kalung mutiara termahal tak pernah boleh dilihat orang. Kamu pengen makan daging harus kamu cek dulu halal atau tidak. Kamu capek pengen sekadar minum anggur biar sedikit fresh, nggak boleh. Kamu mau healing ke pantai seharian harus nyiapin waktu buat off sembahyang dulu.
Banyak banget aturan dan larangan yang nggak jelas manfaatnya yang harus kamu jalani, Nia. Why? Mengapa kamu nggak protes ke ustazmu atau ayah ibumu? Jika kamu lelah dan tertekan dengan semua aturan itu, kenapa kamu nggak berontak? Bukankah kita punya hak hidup bebas tanpa banyak aturan, Nia? Bukankah kita punya hak untuk bersenang-senang dan makan minum apa pun sesuka selera kita? Ayo, Nia, berpikirlah! Berpikirlah dengan logikamu yang brilian itu, bestie!” Suara lembut Ayu yang masuk akal itu menyesaki pikiran Nia.
Angin senja yang basah menerobos masuk kamar dari celah jendela jelosi yang cukup besar. Dalam beku dinding kamar itu, bibirnya terkatup rapat, matanya sayup, dan perlahan android dalam genggamannya terlepas jatuh ke atas sprei hijau muda, di samping badannya yang ramping dan semampai. HP itu masih menyala, namun mata pemiliknya sudah tak berdaya melawan kantuk. Nun jauh di jalanan setapak, di lereng pegunungan hijau yang curam dan licin, Nia merasa kelelahan. Keringatnya bercucuran dan napasnya mulai tersengal. “Akan seberapa lama lagi aku harus menapaki jalanan sulit ini? Kuatkah kakiku menembus aral rintangan menuju rumah impianku?” gumamnya dalam hati.
“Oh, Bathara Jagat Raya, apa ini? Jalan simpang? Mana yang harus kulalui, duhai Bathara?” Nia berteriak kebingungan dalam lelahnya yang berat. Ransel yang seharian ini membebani pundaknya dia turunkan. Benar-benar tak kuat rasanya membawa tas itu lagi. Dia ingin membuang saja ransel itu di jalanan untuk meringankan langkahnya. Namun entah apa yang terjadi padanya, kakinya benar-benar lunglai. Energinya seakan tersedot alam liar di sekitarnya. Nia berusaha keras untuk bangkit melangkahkan kaki, namun tak kuasa.
Akhirnya dia terduduk lesu di tepian jalan, jalan simpang yang Nia sendiri bingung harus melalui arah yang mana. Dalam kekalutan dan kesendiriannya, Nia pasrah pada semesta. Ada ketakutan yang menyelinap mengelayuti rongga dadanya. Sepi yang mencekam tanpa kawan, juga tanpa penunjuk arah. Kompas telah hilang dan internet lenyap ditelan belantara. Di antara gemerisik suara dedaunan hutan yang saling bergesek tertiup angin, dalam cahaya remang bulan sabit merah di ufuk barat, setelah beberapa saat terduduk putus asa, Nia mendengar suara langkah kaki orang mendekat. Nia merasa langkah itu ada di belakang punggungnya.
Rasa ketakutannya makin bertambah, namun harapannya untuk ditolong juga ada. Dia memberanikan diri menoleh ke belakang. Namun kabut senja menutup sosok bayangan yang makin mendekatinya. Yang terlihat hanya kelebat jilbab putih lebar yang mengibas-ngibas tertiup angin. Aroma semerbak melati putih pun makin jelas terhirup seiring bayangan wanita paruh baya yang makin dekat.
“Kurniasari…!” terdengar suara lembut penuh wibawa meluncur dari bibir manis wanita itu.
Nia terperanjat. Alangkah ganjilnya seorang yang belum dia kenal, tapi sudah memanggil namanya tanpa salah. Dia sedang menerka siapa gerangan wanita tersebut, namun belum lagi dia berhasil menemukan jawab, wanita itu sudah mengguncang pundaknya dan bertanya, “Sedang apa kau di sini, cantik?” Nia makin gelagapan. Dia menjawab terbata-bata, “A…a…aku tersesat. Kau si…siapa?” Nia merasakan jemari tangan wanita itu sangat dingin, lebih dingin dari es batu rasanya.
Nia ketakutan dan ingin berdiri untuk lari meninggalkan wanita itu. Namun langkahnya gagal karena kakinya seakan lumpuh, badannya terasa terpaku ke bumi tempatnya terduduk di tepian jalan hutan itu. Nia berteriak minta tolong sekuat-kuatnya. Tak ada yang menyahut. Wanita paruh baya berhijab putih itu duduk di samping Nia. Aroma tubuhnya benar-benar harum. Wanita itu melepaskan genggaman tangannya dari bahu Nia. “Tidak ada siapa-siapa di sini, Nia. Tak ada gunanya kau berteriak. Diamlah dan dengar kata-kataku jika kau mau selamat pulang ke rumahmu.”
Dengan kekhawatiran yang masih kuat menggurat di pikirannya, Nia memberanikan diri bertanya, “Kau siapa? Eh… maksud saya, Ibu siapa?” Wanita itu tersenyum ramah, lalu menjawab sekenanya, “Kau tak perlu tahu siapa aku.”
“Lalu, untuk apa kau menemuiku?” tanya Nia menyelidik.
“Aku kebetulan lewat dan kulihat kau butuh pertolongan di jalan ini,” jelas wanita berjubah itu dengan senyum penuh persahabatan.
“Emmm… Ibu benar. Saya memang butuh bantuan seseorang saat ini, Bu. Saya kelelahan di perjalanan ini, kaki saya sakit dan seperti lumpuh rasanya, dan sekarang saya tidak tahu harus memilih jalan yang mana. Apakah jalan yang lurus di depan saya ataukah jalan yang belok ke kiri ini yang harus saya lalui? Saya tak tahu arah lagi di hutan ini, Bu.” Nia mulai berani menceritakan masalahnya.
“Oke… aku paham. Tapi apa masalah yang membawamu sampai jauh ke hutan belantara ini?” tanya wanita berhijab putih.
“Ohh, ini karena aku menyelamatkan diri, Bu,” jawab Nia.
“Maksudmu?” desak wanita berhijab putih ingin tahu.
“Ayah, ibuku, dan semua keluargaku memaksakan diri dengan sejuta aturan. Bahkan di sekolah, guru-guruku juga melakukan hal yang sama. Semua orang, terutama ayah ibuku, selalu memaksaku untuk salat lima waktu. Aku harus berpuasa sebulan penuh. Aku harus memakai jilbab, aku harus pakai hijab yang longgar, aku harus mengaji, aku tak boleh bersenang-senang sekadar minum anggur merah, aku tak boleh bersenang-senang dengan lawan jenis sesukaku, aku tak boleh pulang malam, aku tak boleh makan makanan yang haram, dan sekadar taruhan recehan pun tak boleh.
Aku bosan, Bu. Lebih dari itu, aku sangat tertekan. Makanya aku lari menjauhi mereka, orang-orang yang tidak pernah mau tahu bagaimana dan apa yang aku inginkan. Aku merasa mereka senang melihat aku hidup tertekan. Aku tak mau, Bu. Aku ingin bebas, sebebas-bebasnya menikmati hidup ini. Aku ingin bercinta lepas seperti merpati-merpati putih di angkasa itu. Aku ingin hidup bebas yang nggak banyak aturannya .” celoteh Nia penuh semangat, mengungkapkan kekesalan hatinya terhadap orang tua dan keluarganya.
“Hmmmmmm..” Wanita jubah putih mendehem tanda megerti. Lalu perlahan mengelus punggung Nia sambal berkata, “Nia.. Kau tahu mobil?” tanyanya dengan nada berat. Tanpa menoleh, Nia mengangguk. “Kau bisa mengendarai motor?” tanyanya lagi. Kali ini Nia menjawab pelan, “iya. Bisa.”
“Nah, sekarang perhatikan kendaraan-kendaraan itu. Bahkan kamu boleh mengamati segala peralatan atau mesin apapun di muka bumi ini. Apakah boleh, oli mesinnya kamu ganti dengan air atau minyak goreng? Atau kampas remnya kamu ganti dengan plastic talang genteng? Atau air radiatornya diganti dengan minyak wangi atau madu?” tanya wanita jubah mencoba menjajagi pemikiran Kurniasari.
Nia nampak kesal sekali dengan pertanyaan itu, namun dia mau menjawab juga. “Tantu saja tidak boleh diganti sesuka hati kita, Bu”.
“Kenapa?” tanya wanita berjubah putih menyelidik.
“Ya, karena itu aturan dari perusahaan, dari pabrik pembuat mesin mobil dan motornya.”
“Kalau dipaksa diganti, bagaimana?” tanya wanita itu lebih lanjut.
“Tentu saja mesinnya akan rusak dan kendaraan gak bisa dipakai lagi.” Jawab Nia dengan jengkel karena belum tahu arah pembicaraan wanita misterius itu.
“Nah, bagus… bagus anak pintar. Itu jawaban yang pintar namanya.” Wanita itu tersenyum lebar melihat menatap Nia yang kebingungan. Giginya nampak putih bersih dan aromanya harum semerbak. Nia tertegun, lalu bertanya, “Maksud Ibu apa?”
“Tadi kamu bilang tertekan hidupmu karena aturan yang sangat banyak. Nah sekarang, coba kamu analogikan dirimu sebagai mesin mobil atau motor itu. Jika mesin mobil dan motor saja yang sederhana itu harus mengikuti buku petunjuk dari pabrikannya, maka apalah lagi kamu, Nia. Kamu makhluk istimewa di muka bumi ini. Derajatmu lebih tinggi dibandingkan merpati-merpati putih, kucing Anggora, ataupun Anjing Herder yang super gemoy sekalipun. Mengapa? Karena kamu diberi kelebihan akal budi oleh Sang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT. Jika pabrikan menerbitkan buku pedoman penggunaan dan perawatan mesin khusus untuk Toyota atau Honda type tertentu misalnya, maka sudah sepantasnya jika Tuhan Allah SWT menerbitkan wahyu Al-Qur’an sebagai petunjuk dalam memanajemen hati, jiwa, fisik, pikiran, dan perbuatan manusia. Tujuannya agar dalam menjalani kehidupan dalam hubungannya dengan diri sendiri, kesehatan diri, keamanan diri, mental spiritual, hubungan dengan orang lain dan masyarakat serta hubungan terhadap alam semesta termasuk flora dan fauna berjalan dengan harmonis, sehingga tercipta kehidupan yang aman damai dan lestari. Terakhir, special dalam hubngan kepada Allah SWT perlu aturan khusus karena memang kita tercipta dari KemahabesaranNYA..” Suara wanita berhijab putih itu mengalir syahdu. Iramanya menyeninap ke relung-relung jiwa Nia yang terlelap dalam pelukan malam.
Tatapan sayup mata Nia perlahan terbuka, dirabanya punggungnya, tak terasa lagi dingin jemari wanita itu. Ditengoknya ke samping dan ke belakang, tak nampak lagi Wanita berhijab putih itu. Nia masih kebingungan dan tak percaya denga napa yang terjadi. Ke mana perginya wanita semerbak harum tadi? Nia mencoba berdiri, kakinya terasa mulai bertenaga. Dikucek-kuceknya kelopak mata ingin memastikan bahwa yang dialaminya bukanlah mimpi. Dia memandang ke langit, cahaya semburat putih cemerlang menerpa bola matanya. Begitu tajam cahaya putih itu hingga seperti buta rasa matanya. Cahaya yang menusuk dan begitu menenkan. Nia tergagap.. Dia serasa kehilangan akal karena cahaya itu makin mendekat menguasai tubuhnya. Nia ketakutan lalu menjerit, “Ya Rabb… Ya Allah ya Tuhanku.. Tolonglah akuuuuuu!” Nia mendengar suaranya sendiri. Dia terperanjat dalam sepi. Dia baru sadar bahwa yang dialaminya tadi adalah dalam mimpi.
Namun, di kesadaran jiwanya terdalam dia telah menemukan jalan, yaitu jalan Ilahi.
Dengan terbata-bata, hatinya yakin Kembali bahwa aturan yang Allah SWT buat untuk hambaNYA adalah demi keselamatan dan kebaikan setiap hamba, baik keselamatan dan kebahagiaan dunia maupun akhirat. Dengan membaca ta’awuz dan basmalah, Nia meneguhkan hati membaca dua kalimat syahadat Kembali.